ArtikelPendidikan

Sepuluh Kaidah Untuk Meningkatkan Citra Matematika Sebagai Mata Pelajaran yang Menyenangkan

41 views
Tidak ada komentar

Oleh Suparlan *)

‘Berilah aku guru yang baik, yang dengan kurikulum yang kurang baik sekali pun aku akan dapat dihasilkan murid yang baik’. (analogi dari ‘berilah aku hakim dan jaksa yang baik, yang dengan undang-undang yang buruk sekali pun, aku akan dapat menghasilkan keputusan yang baik’).

Koran Republika, tanggal 20 Agustus 2003, menyajikan tulisan bertajuk ‘Matematika? Siapa Takut!’. Dengan meminjam advertensi sebuah merek shampoo terkenal, tulisan itu berusaha menjelaskan tentang sosok dan keberhasilan seorang siswa kelas VI SD Lempuyangwangi I Yogyakarta. Namanya Ova Setia Primata. Murid SD ini lain dari yang lain. Jika banyak kawannya menganggap matematika sebagai mata pelajaran yang sulit dan membosankan, maka ia ternyata justru sebaliknya. Ia menyenangi mata pelajaran matematika. Dalam acara seleksi calon peserta Olimpiade Matematika, ia telah berhasil menyabet peringat ke-20 dari 216 jago matematika se Jawa. Setelah melalui gemblengan selama beberapa hari di Jakarta, ia bahkan dapat menduduki peringkat ke-2 yang akan menjadi salah satu wakil Indonesia dalam acara Olimpiade Matematika Internasional di Thailand.

Itulah sekilas tentang kehebatan Ova Setia Primata. Seperti Taufik Hidayat yang berhasil menyelamatkan muka Indonesia dalam acara pertandingan badminton Indonesia Terbuka, Ova Setia Prima juga telah berhasil menyelamatkan muka Yogyakarta dalam bidang matematika, termasuk menyelamatkan muka PPPG Matematika yang secara kebetulan berada di Yogyakarta, karena bagaimana pun juga masih ada siswa yang dapat dihandalkan kemampuannya dalam bidang matematika. Sebagaimana diketahui, salah satu misi PPPG Matematika Yogyakarta adalah meningkatkan citra matematika sebagai mata pelajaran yang menyenangkan.

Misi PPPG Matematika

Salah satu prinsip dalam revolusi pembelajaran (learning revolution) menyatakan bahwa belajar akan efektif jika dilaksanakan dalam suasana yang menyenangkan. Salah satu ukuran efektivitas proses pembelajaran adalah hasil belajar peserta didik. Jika dilihat dari hasil pembelajaran matematika selama ini, maka dapat dipastikan bahwa matematika belum sepenuhnya menjadi mata pelajaran yang menyenangkan, malah bisa sebaliknya. Rerata hasil Ujian Akhir Nasional menunjukkan hal ini. Dalam buku yang ditulis oleh Prof. Suyanto, M.Ed, Ph.D dan Drs Djihad Hisyam, M.Pd (2000:30-31) bertajuk ‘Refleksi dan Reformasi Pendidikan Di Indonesia Memasuki Milenium III’, sedikit banyak telah mempertanyakan kinerja lembaga diklat sebagai berikut:

‘Penataran yang selama ini dilakukan dalam berbagai bentuk dan materi memang memiliki legitimasi akademik yang tinggi di bawah paradigma in-service training. Meskipun demikian, sebenarnya penataran itu saja tidak mampu melakukan intervensi secara makro terhadap perbaikan praksis pendidikan. Indikator yang paling mudah diketahui ialah masih rendahnya NEM pada mata pelajaran yang sering dijadikan sebagai materi penataran seperti Bahasa Inggris, IPA, Matematika, Kinia, Biologi, Fisika, Ekonomi, dan sebagainya. Secara nasional, NEM untuk mata pelajaran tersebut masih rendah (kurang dari 6)’.

Dijelaskan lebih lanjut bahwa:

‘Fenomena ini menggambarkan bahwa hasil penataran tidak diadopsi oleh guru kita pada proses pembelajaran di kelas. Memang banyak guru yang pada waktu ditatar menunjukkan prestasi yang baik dan menakjubkan, tetapi setelah pulang ke sekolah mereka kembali pada praktik lama, yaitu tidak mau menerapkan hasil penataran pada proses pembelajaran di kelas masing-masing’.

Berdasarkan analisis tersebut, tampak jelas bahwa kinerja lembaga diklat seperti PPPG Matematika tersebut belum dapat mencapai misi untuk meningkatkan citra matematika sebagai mata pelajaran yang menyenangkan. Dengan kata lain, misi ‘meningkatkan citra matematika sebagai mata pelajaran yang menyenangkan’ masih tetap menjadi pekerjaan rumah yang cukup berat bagi PPPG Matematika.

Bagaimana cara meningkatkan prestasi hasil belajar matematika?

Berbagai upaya untuk meningkatkan hasil belajar matematika bukanlah barang baru. Salah satu di antaranya adalah dijelaskan dalam buku Seri Praktik Pendidikan, Untuk Guru, Pendidik, dan Orangtua Dalam Rangka Meningkatkan Kualitas Sumberdaya Manusia, yang diterbitkan oleh Akademi Pendidikan Internasional, Biro Pendidikan Internasional UNESCO, yang dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia atas kerjasama Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO dengan Ditjen Dikdasmen. Dalam buku tersebut terdapat satu topik bertajuk ‘Perbaikan Prestasi Siswa Dalam Matematika’, yang dikarang oleh Douglas A. Grows dan Kristin J. Cebulla. Penulis menjelaskan sepuluh kaidah yang harus diperhatikan oleh para guru untuk meningkatkan prestasi siswa dalam matematika. Sepuluh kaidah tersebut dijelaskan dalam tulisan singkat ini dengan beberapa modivikasi dan tambahan penjelasan seperlunya.

Pertama, berikan kesempatan belajar kepada siswa untuk mempelajari matematika secara langsung. Untuk ini guru harus lebih banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempelajari matematika sesuai dengan tingkat kemampuannya. Awas, jangan ada niat guru memberikan tugas yang berat dengan tujuan timbul kesan bahwa matematika itu sulit. Sebaliknya berilah tugas-tugas yang diperkirakan para siswa dapat mengerjakannya. Lalu, berilah penguatan, sehingga peserta didik menjadi semakin bersemangat untuk dapat mengerjakannya. Semakin banyak kesempatan belajar yang diberikan kepada siswa, semakin tinggi prestasi belajar siswa.

Para guru hendaklah memberikan kesempatan belajar kepada siswa bukan hanya sampai kepada pemahaman konsep matematika, tetapi juga sampai dengan penerapan konsep dalam kehidupan sehari-hari, serta sampai dengan nilai-nilai yang dapat diambil dari mata pelajaran matematika, misalnya nilai kejujuran, ketelitian, percaya diri, dan kerjasama antara teman. Sekali lagi, pemberian kesempatan kepada semua siswa ini sudah barang tentu harus disesuaikan tingkat kemampuan anak. Anak-anak yang lambar belajar sudah barang tentu jangan diberikan soal yang sepadan dengan kemampuannya, sehingga mereka merasa mampu mengerjakannya, dan akhirnya menjadi senang kepada mata pelajaran matematika. Sebaliknya anak yang ‘gifted’ perlu diberikan soal yang menantang.

Kedua, fokuskan kepada pelajaran matematika yang bermakna dalam kehidupan. Kaidah ini kini menjadi terkenal dengan konsep ‘matematika realistik’ atau yang dikenal dengan CTL (contextual teaching and learning). Untuk apa mereka diajarkan tentang menjumlah, mengalikan, membagi, dan sebagainya? Materi pelajaran itu pada hakikatnya memiliki makna yang penting dalam kehidupan. Siswa harus memahami tentang betapa pentingnya operasi hitung dasar itu dalam bidang ekonomi, perdagangan, belanja di pasar, dan bahkan dalam kaitannya dengan keterampilan pengumpulan data dalam sensus penduduk, sebagai misal. Untuk itu, mengajarkan matematika tidaklah hanya mengajarkan konsep-konsep dalam matematika, tetapi lagi-lagi harus memberikannya secara bermakna bagi siswa. Jika para siswa sudah memahami bahwa matematika memang penting dalam kehidupannya, maka siswa akan merasa perlu belajar matematika, dan selanjutnya mereka senang dalam belajar, dan pada akhirnya prestasi belajarnya pun meningkat pula.

Ketiga, perbaiki prasyaratnya terlebih dahulu, dan barulah kemudian berikan konsep dan keterampilan yang baru. Kaidah ini banyak dilupakan para guru. Setelah selesai masa orientasi siswa (MOS) di sekolah, para guru biasanya langsung menyuruh siswa untuk membuka buku matematika. Dan dimulailah prosesi yang menakutkan bagi sang anak. Proses pembelajaran dan pengajaran tentang pokok bahasan pertama dimulai. Dan setelah itu, sang anak pulang dengan membawa setumpuk PR. PR itu pun kemungkinan tidak dikoreksi dan tidak dibahas di dalam kelas. Jika demikian halnya, maka itu merupakan proses yang mekanis, dan tidak humanis, serta juga tidak dialogis (lihat Pasal 40 ayat 2 butir a pada UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Seminggu atau bahkan dapat dua minggu pada awal tahun pelajaran berilah ak-anak cerita tentang sejarah matematika, misalnya tentang sejarah penemuan matematika, atau misteri teka-teki Einstein. Dengan itu, cobalah beri tugas anak-anak ke depan kelas, agar mereka tidak merasa ‘seram’ dengan matematika. Berilah soal-soal dari yang amat ringan sampai yang berat untuk mengetahui apakah mereka telah memiliki kemampuan prasyarat (prerequisite) yang diperlukan untuk memulai pokok bahasan yang baru. Sebagai contoh, siswa SD tidak akan dapat diberikan pokok bahasan tentang ‘operasi perkalian’ sebelum anak memahami dengan baik ‘operasi penjumlahan’. Artinya, ‘operasi penjumlahan’ merupakan prasyarat ‘operasi perkalian’. Jangan lupa berilah penguatan (reinforcement) yang cukup agar anak-anak merasa dapat mengerjakan soal matematika. Harapannya, anak-anak menjadi tertarik dan senang kepada matematika. Apalagi kalau diawali dengan senang dengan suri keteladanan gurunya.

Keempat, berilah kesempatan untuk melakukan praktik dan menemukan sendiri. Kaidah ini sebenarnya sama dengan kaidah Cina yang mengatakan bahwa ‘saya dengan dan saya lupa, saya lihat dan saya ingat, dan saya lakukan dan saya faham’. Memang ada sedikit hambatan pada tahap awal dalam memberikan tugas kepada siswa. Itu sama saja dengan itilah ‘deman panggung’ dalam acara pertunjukan. Pada tahap awal anak akan merasa takut, atau tidak percaya diri akan kemampuannya. Apalagi kalau gurunya tampak begitu galak. Padahal, kegalakan guru itu sebenarnya menunjukkan ketidakmampuan guru itu sendiri. Untuk itu, berikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan tugas, melakukan praktik dan menemukan sendiri, dengan syarat: (1) pada tahap awal berikan tugas yang sepadan dengan kemampuannya, pada tahap berikutnya dapat diberikan tugas yang lebih menantang, (2) jangan lupa berikan penghargaan dengan penguatan (reinforcement), (3) dan kalau sudah terbiasa berikan tantangan dengan memberikan model kompetisi di antara siswa. Banyak model permainan dalam matematika yang dapat dijadikan sebagai alat untuk kegiatan kompetisi antarsiswa atau antarkelompok.

Kelima, berilah kesempatan untuk mencoba metode-metode pemecahan masalah dan berikan kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi di antara mereka. Kecakapan berfikir (thinking skill) dan kecakapan untuk berkomunikasi dengan kolega (communication skill) menjadi dua kecakapan hidup (life skills) yang amat penting. Dalam hal ini, mata pelajaran matematika merupakan ilmu dasar yang memberikan landasan kuat untuk membentuk kemampuan berfikir logis bagi anak, dan membiasakan anak untuk dapat bersosialisasi dan bekerjasama dengan sesama kawannya.

Keenam, gunakan metode kelompok kecil dalam proses pembelajaran. Manusia adalah mahluk sosial, homo socius. Tidak seorang pun manusia yang dapat hidup sendirian, tanpa bantuan orang lain. Salah satu pilar pendidikan menurut UNESCO adalah ‘learning to live to gether’ atau belajar untuk hidup bersama orang lain. Oleh karena itu, pembelajaran matematika pun memerlukan kerja sama dengan orang lain. Metode kelompok kecil merupakan salah satu metode mengajar matematika. PPPG Matematika Yogyakarta telah menghasilkan VCD model pembelajaran matematika di SD dengan menggunakan metode kelompok kecil. Pokok bahasan yang diajarkan adalah ‘bilangan phi’. Bilangan itu biasa digunakan dalam operasi hitung untuk luas lingkaran. Keliling lingkaran dihitung dari hasil kali bilangan phi dengan dua jari-jari lingkaran. Apakah itu bilangan phi, dan berapakah itu sebenarnya bilangan phi, dst. Melalui kelompok kecil, para siswa SD diminta untuk mengukur keliling benda-benda yang berbentuk bulat, seperti kaleng, gelas, piring, dan alat dapur lainnya, batang kayu, dan benda-benda yang mereka jumpai di mana saja. Semua kolompok kecil itu memaparkan hasilnya, dan akhirnya menemukan berapa sebenarnya bilangan phi itu.

Ketujuh, gunakan metode kelompok besar (kelas) dalam proses pembelajaran sebagai tindak lanjut dari metode kelompok kecil. Kegiatan pembelajaran dengan kelompok kecil dapat ditindaklanjuti dengan kelompok yang lebih besar. Beberapa kelompok kecil yang ada dikelompokkan menajadi dua kelompok yang lebih besar, misalnya kelompok A dan B. Masing-masing kelompok diminta berunding untuk menyepakati hasil kerja kelompok kecil sebagai kesepakatan yang lebih besar. Setelah itu, kedua kelompok tersebut (A dan B) diminta untuk melaporkan hasil kerja kelompok di depan kelas.

Kedelapan, mulailah dengan proses konstruksi yang benar dalam benak siswa tentang pengertian bilangan. Pengertian yang benar tentang bilangan merupakan dasar yang kokoh untuk membangun kemampuan lebih lanjut tentang besaran bilangan, komputasi, estimasi atau perkiraan, dan pokok-pokok bahasan lain dalam matematika. Matematika memiliki sifat yang hierarkis, artinya penguasaan satu pokok bahasan tertentu dalam matematika memerlukan pokok bahasan lain sebagai prasyarat (prerequisite). Pengertian bilangan merupakan prasyarat yang paling dasar yang harus dikuasai dengan benar oleh siswa, dengan cara mambangun konstruksi pemahaman yang benar dalam benak siswa.

Kesembilan, mulailah dari yang konkret. Proses pembelajaran matematika di TK, SD sampai dengan kelas II SLTP harus dimulai dari bahan-bahan yang konkret. Oleh karena itu, proses pembelajaran tidak boleh tidak harus menggunakan alat peraga matematika. Alat peraga matematika dapat dibuat sendiri oleh guru, bahkan nyaris tanpa biaya sepeser pun. Untuk memenuhi harapan ini, PPPG Matematika Yogyakarta telah mengembangkan satu unit Rancang Bangun Alat Peraga Matematika dengan titik berat pembuatan alat peraga yang sederhana, sehingga para guru dapat membuat dan mengembangkannya sendiri.

Dalam penelitiannya, Sowell menarik kesimpulan bahwa ‘penggunaan bahan-bahan konkret dalam jangka panjang oleh guru-guru yang paham benar penggunaannya dapat memperbaiki prestasi dan sikap siswa’. Dalam kegiatan program sekolah binaan di SD Negeri Ngijon, Kabupaten Sleman, diketahui bahwa kebanyakan para guru pada umumnya tidak menggunakan alat peraga dalam mengajarkan matematika. Alat peraga yang dikirim dari Dinas Pendidikan nyaris masih ada dalam dos dan bahkan dalam keadaan berdebu. Kelihatannya, banyak guru yang menganggap bahwa penggunaan alat peraga menjadikan proses pembelajaran terlalu lama dan tidak praktis. Mungkin juga guru kurang memiliki kemampuan yang cukuo menggunakan alat peraga dalam proses pembelajaran. Padahal pembentukan konsep akan dibangun atau dikonstruksi dari bahan-bahan konkret menjadi abstrak dalam benak sang anak. Akibatnya konstruksi pemahaman tentang konsep tidak pernah terbentuk secara baik. Seorang widyaiswara PPPG Matematika Yogyakarta, Drs. Marsudi Rahardjo, M.Sc.Ed, yang diberi tugas untuk menjadi pembimbing dalam kegiatan sekolah binaan di SD Mlijon, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, menjelaskan kepada para guru SD di sekolah itu tentang cara-cara mengajarkan matematika dengan menggunakan alat peraga yang amat sederhana. Widyaiswara yang memperoleh master di Amerika itu membawa satu tas alat peraga matematika sederhana, yang dapat dibuat sendiri oleh guru. Dimulailah dengan menunjukkan kepada anak satu kertas bulat berwarna merah yang ditempelkan pada papan planel. Berapa ini? Satu, jawab siswa kelas I SD. Demikian seterusnya berulang-ulang sampai dengan bilangan lima. Awas, jangan sekali-kali langsung dengan menulis angka lima, tetapi minimal dengan manipulasi bentuk benda konkret yang berjumlah lima. Ulangi berkali-kali, dengan cara yang sebaliknya, misalnya dengan menunjukkan lima kertas bulat berwarna merah, kemudian empat, tiga, duam dan satu. Ini berapa? Anak menjawab serentak, lima, empat, dan seterusnya. Jangan sekali-kali langsung mengajari anak menulis angka. Demikian seterusnya berulang-ulang. Setelah itu baru disusul dengan proses visualisasi, yaitu dengan cara menulis angka di udara. Belum di kertas, tetapi di ‘udara’. Demikian seterusnya baru dipraktikkan di atas kertas. Demikianlah contoh sederhana yang telah diberikan oleh widyaiswara PPPG Matematika kepada para guru SD. Para guru mengangguk-anggukkan kepala, tanda mengerti. Jangan lupa periksa kembali kemampuan untuk masing-masing anak. Kalau perlu semua anak mendapatkan giliran. Alat peraga sederhana matematika menjadi penting, sebagai manipulasi benda-benda konkret yang dapat digunakan agar proses pembelajaran matematika dapat lebih menarik dan yang penting adalah terjadi proses kontruksi pemahaman di benak siswa.

Kesepuluh, menggunakan kalkulator secara bijaksana di dalam kelas matematika dapat memperbaiki prestasi belajar dan sikap siswa terhadap matematika. Ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hembree dan Dessart. Memang, di Indonesia penggunaan kalkulator di SD masih menjadi penolakan dan setidaknya kesangsian. Penolakan dan kesangsian itu timbul karena adanya anggapan umum bahwa penggunaan kalkulator dapat menyebabkan anak-anak menjadi malas berfikir dan menghafal. Dan oleh karena itu, dikhawatirkan penggunaan kalkulator justru dapat menurunkan prestasi belajar siswa. Namun, untuk SLTP dan SMU penggunaan kalkulator tidak terlalu menjadi masalah, karena telah masuk ke dalam kurikulum. Terjadinya pembatasan dalam penggunakaan kalkulator di SD menjadi tidak realistis, karena pada saat terjun ke masyarakat, mereka akan dihadapkan pada kenyataan perlunya menggunakan kalkulator di rumah atau di tempat kerja. Oleh karena itu, yang paling bijak adalah dengan menggunakan kalkulator secara benar dan rasional, dan bukan dengan cara melarangnya tanpa pertimbangan.

Akhir Kata

Berilah aku guru yang baik, yang dengan kurikulum yang kurang baik sekali pun akan dapat dihasilkan murid yang baik. Demikianlah satu analogi dari pendapat seorang ahli hukum Belanda yang memberikan pesan bijak bahwa ‘berilah aku hakim dan jaksa yang baik, yang dengan undang-undang yang buruk sekali pun, aku akan dapat menghasilkan keputusan yang baik’. Membuat anak menyenangi matematika, tidak bisa tidak harus dilakukan oleh guru yang menyenangi matematika dan lebih dari itu harus dilaksanakan dalam proses pembelajaran yang mengenangkan pula. Sepuluh kaidah tersebut dapat menjadi acuannya. Dapatkah PPPG Matematika menggapai misi itu? Mudah-mudahan.

Referensi

  • Grouws, Douglas A dan Cebulla, Kristin J. 2002. Perbaikan Prestasi Siswa Dalam Matematika, dalam Seri Praktik Pendidikan, Untuk Guru, Pendidik, dan Orangtua Dalam Rangka Meningkatkan Kualitas Sumberdaya Manusia (dialihbahasakan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia oleh Prof. Dr. W.P. Napitupulu. Jakarta: Dikdasmen berkerjasama dengan Biro Pendidikan Internasional UNESCO.
  • Republika, tanggal 20 Agustus 2003.
  • Renstra PPPG Matematika Yogyakarta 2001 – 2004.
  • UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com. Kepala Bidang Pelayanan Teknis PPPG Matematika

Yogyakarta, 12 September 2003

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts