ArtikelPendidikan

Merger Sekolah Dasar, Begitu Perlukah?

28 views
Tidak ada komentar

Oleh Suparlan *)

Quality was ‘at the heart of education’.
(EFA Global Monitoring Report 2005, hal. 29)

The achievement of universal participation in education will be fundamentally dependent upon the quality of education available.
(EFA Global Monitoring Report 2005, hal. 28)

Education should allow children to reach their fullest potential in term of cognitive, emotional and creative capacities.
(EFA Global Monitoring Report 2005, hal. 30)

Standar Nasional Pendidikan berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.
(Pasal 3 PP Nomor 19 tentang Standar Nasional Pendidikan)

Program merger SD di sebagian daerah sudah mulai dilaksanakan. Program ini memang menjadi salah satu kebijakan yang telah diluncurkan oleh Direktorat Pembinaan TK dan SD, yang didukung oleh pemerintah daerah masing-masing. Namun, pelaksanaan program ini di beberapa daerah masih menghadapi berbagai kendala karena beberapa faktor. Pertama, faktor kekhawatiran akan hilangnya posisi kepala sekolah. Apalagi jika kepala sekolahnya masih relatif muda. Memindahkan atau memarkirnya tentu menjadi kendala tersendiri. Kedua, faktor kekhawatiran akan kehilangan jejak sejarah lembaga sekolah yang pada awalnya memang telah didirikan dengan susah payah. Jika faktor pertama datang dari dalam (intern), maka faktor kedua biasanya datang dari luar (ekstern), misalnya dari tokoh masyarakat yang sejak awal ikut mendirikan sekolah tersebut. Proses merger SD menjadi mudah dilakukan jika kedua faktor itu dapat diatasi.

Tanda-tanda perlunya merger Sekolah Dasar sebenarnya telah lama terindikasi. Pada tahun 90-an, ketika pembangunan gedung SD Inpres telah berumur lebih dari satu dekade, banyak gedung sekolah sekolah dasar telah mengalami kerusakan dan mengalami penurunan jumlah siswa. Keberhasilan program KB ketika itu diindikasikan sebagai faktor penyebabnya. Lebih dari itu, faktor pemilihan lokasi sekolah yang tidak tepat menjadi penyebab lainnya. Itulah indikasi awal yang dapat ditengarai.

Ketika melaksanakan tugas dinas luar di Kabupaten Sampang, Provinsi Jawa Timur, pada tahun 90-an, ditemukanlah dua SD yang lokasinya sangat berdekatan, muka belakang. Tentu saja dua SD itu masing-masing masih memiliki kepala sekolah. Yang memprihatinkan, satu sekolah di lokasi itu ternyata sudah tinggal beberapa kelas. Beberapa ruang kelasnya telah rusak berat dan muridnya pun memang tinggal kelas 6 yang sebentar lagi akan meninggalkan SD tersebut setelah lulus. Artinya, setahun lagi SD yang telaknya di belakang tidak mempunyai murid lagi. Itu berarti kepala sekolah dan para gurunya harus dipindahkan ke SD lain.

Tulisan ini akan menjelaskan tentang perlunya merger SD sebagai kebijakan pendidikan yang harus ditetapkan secara nasional.

Gedung SD Di Beberapa Tempat

Kondisi gedung SD yang digambarkan pada prolog tulisan ini kurang lebih juga terjadi di banyak tempat di Indonesia. Di Kota Depok Provinsi Jawa Barat, sebagai contoh, kurang lebih juga menggambarkan kondisi yang sama. Di satu lokasi di satu kawasan Depok II Timur terdapat empat SD yang lokasinya saling berhadapan. SD Mekarjaya 14 berhadapan dengan SD Mekarjaya 27, SDN Abadijaya 2 berhadapan dengan SDN Abadijaya 6. Dengan demikian, keempat SD tersebut membentuk pola empat persegi, yang di tengah-tengahnya terdapat lapangan upacara yang juga tidak terlalu luas. Setiap pagi, murid yang bersekolah di kompleks itu beramai-ramai memasuki satu kompleks yang sama, dan kemudian ketika bel sekolah dibunyikan, maka berhamburanlah para murid menuju ke depan kelasnya masing-masing untuk berbaris menuju ruang kelasnya masing-masing.

Di Desa Tawing, Kecamatan Munjungan, Kabupaten Trenggalek, Provinsi Jawa Timur, juga terdapat hal yang hampir sama. Dua SD, yakni SDN Tawing 1 dan SDN Tawing 2 terletak di lokasi yang sama, yakni di bekas lapangan sepak bola milik desa. Jumlah murid di kedua sekolah itu pun sudah mulai ada tendensi menurun. Yang menyedihkan, dua SD di Desa Tawing tersebut dipisahkan oleh tembok tinggi, hanya untuk menunjukkan bahwa sekolah itu bukan satu sekolah, tetapi dua, dan dipimpin oleh dua kepala sekolah. Tembok Berlin saja sudah diruntuhkan. Mengapa kedua SD tersebut malah justru telah membangun tembok tinggi untuk memisahkan kedua SD tersebut. Demikianlah kira-kira yang dapat kita pikirkan.

Contoh lain mungkin masih banyak lagi yang harus disebutkan satu persatu dalam tulsian ini. Namun sebagai gambaran secara umum, contoh tersebut diharapkan dapat mewakili daerah lain di seantero Indonesia yang luas ini.

Perbandingan Dengan Negeri Jiran

Ada beberapa sejawat yang pernah mengadakan studi banding di negeri jiran Malaysia. Menurutnya, dari segi jumlah, sekolah di Indonesia memang luar biasa besarnya. Di setiap desa telah dibangun gedung sekolah SD, bahkan satu desa kebanyakan memiliki lebih dari satu SD. Gedung Sekolah Rendah (SR) di Malaysia tentu tidak sebanyak di Indonesia. Jumlah sekolah memang bukan bandingannya, karena jumlah penduduknya kira-kira hanya kurang dari seperlima jumlah penduduk di Indonesia. Oleh karena itu, gedung SR-nya pun juga tidak ‘berceceran’ di mana-mana seperti yang ada di Indonesia.

Gedung SD di Indonesia memang tersebar di mana-mana. Boleh dikatakan bahwa hampir di setiap gang di daerah pemukiman dapat kita lihat terdapat gedung SD. Namun dari segi mutunya, gedung SR di Malaysia perlu diakui jauh lebih baik dibandingkan dengan gedung SD di Indonesia. Gedung SR di Malaysia dapat dinilai memiliki lahan yang cukup lumayan luas, mutu bangunannya cukup bagus. Oleh karena itu, bangunan SR di Malaysia dilengkapi dengan fasilitas yang cukup, misalnya ruang bermain atau berolah raga yang cukup luas dan dengan fasilitas yang lengkap. Beberapa SR yang telah mengikuti program Sekolah Bestari (Smart School) juga telah dilengkapi dengan perangkat komputer sebagai media pembelajaran multimedia. Jari-jari kecil murid-murid SR di Sekolah Bestari tersebut dengan terampil, tekun, dan ceria telah belajar menggunakan internet dalam proses pembelajaran.

Ada dua kemungkinan faktor yang menyebabkan mengapa gedung SD di Indonesia tampak berceceran di mana-mana. Pertama, berkat program SD Inpres, gedung SD di Indonesia telah dibangun sampai di pelosok desa. Pembangunan gedung SD tersebut kemungkinan dilakukan tidak atau kurang memperhatikan proses pemetaan sekolah (school mapping). Karena faktor tersebut, kita pernah menjumpai gedung SD yang dibangun di daerah yang jauh dari pemukiman penduduk. Termasuk rumah dinas gurunya. Oleh karena itu, tidak jarang rumah dinas yang dibangun itu tidak pernah sekali pun ditempati oleh gurunya. Masalah ini kelihatannya juga terkait dengan budaya masyarakat kita, yang pandai membangun tetapi belum pandai merawatnya.

Mengapa merger?

Inilah pertanyaan kunci yang dicoba ingin dijawab dalam tulisan singkat ini. Paling tidak ada dua alasan utama.

Pertama, ingin meningkatkan mutu layanan pendidikan untuk masyarakat. Dalam arti layanan pendidikan yang bermutu. Bukan hanya layanan pendidikan dengan gedung sekolah yang seadanya. Untuk tahun 70-an bolehlah kita masih berfikir seperti itu. Yang penting ada sekolah. Bangunan seadanya, guru juga seadanya, dan fasilitas sekolah pun seadanya. Pada era milenium ketiga, mutu layanan pendidikan menjadi satu keharusan, jika kita mengharapkan adanya hasil pendidikan (outcomes) yang bermutu. Quality was ‘at the heart of education’. Mutu pendidikan memiliki lima dimensi yang saling kait mengait, yakni: ‘learners, environments, content, processes, dan outcomes’. Demikian pesan Deklarasi Pendidikan Untuk Semua dari Dakar Jomtien dan Dakar pada tahun 1990. Pembangunan gedung sekolah yang tidak bermutu pada masa lalu telah mewariskan kepada kita gedung-gedung sekolah yang sudah siap roboh. Kita harus malu terhadap Bapak Presiden SBY, yang telah ‘membanting meja sekolah di Pulau Seribu’ setelah melihat mutu fasilitas sekolah yang sangat rendah, dan pemeliharaan fasilitas pendidikan pun demikian rendah di suatu sekolah. Seharusnya, apa yang dilakukan SBY merupakan tamparan bagi kita semua. Bukan hanya untuk kepala sekolah yang telah menerima sanksi mutasi, tetapi juga kita semua, termasuk para perumus kebijakan pendidikan di tingkat nasional. Inilah salah satu isu strategis pendidikan nasional yang harus direvitaliasasi.

Kedua, untuk meningkatkan efisiensi penyelenggaraan pendidikan. Dengan beberapa sekolah yang terdapat dalam satu kompleks gedung sekolah yang sempit menimbulkan indikasi terjadinya proses persaingan yang tidak sehat antara sekolah yang satu dengan yang lain. Main serobot dalam menerimaan murid baru, tidak tersedianya ruang bebas yang cukup luas untuk masing-masing sekolah, merupakan ekses negatif yang ditimbulkan dari kondisi itu. Ekses yang lain adalah adanya kelemahan dalam organisasi sekolah. Dengan organisasi yang lemah tersebut, maka ada tendensi melemahnya motivasi para guru karena ikut-ikutan guru di sekolah sebelahnya. “Gini ajalah, gitu aja kok repot” merupakan indikasi lemahnya motivasi. Di SD yang kondisinya seperti itu, biasanya terdapat tendensi ‘padat guru’ tetapi tidak atau kurang memiliki fasilitas pendidikan. Bukan hanya tidak ada ruang yang cukup untuk bermain anak-anak, tetapi juga tidak adanya ruang penunjang lain seperti perpustakaan, kantin sekolah, apalagi ruang ibadah, dan sebagainya.

Jadi, perlukah merger sekolah segera dilakukan jika terdapat kondisi gedung sekolah seperti yang telah digambarkan pada awal tulisan ini? Jawaban terangnya, ya sangat perlu. Jawaban cerdasnya, ya dengan proses yang direncanakan secara matang, agar tidak menimbulkan gejolak yang tidak kita inginkan dan justru merugikan peserta didik.

Langkah-langkah Merger Sekolah

Langkah pertama, mengadakan sosialisasi kebijakan merger sekolah kepada semua pemangku kepentingan (stakeholders). Langkah pertama ini dilakukan agar para pemangku kepentingan memiliki pemahaman mendalam tentang manfaat merger bagi semua pihak, terutama bagi peserta didik. Dalam kegiatan ini, kita dapat menyerap aspirasinya, keberatan-keberatannya, dan jika perlu apa peran yang dapat disumbangkan untuk ikut bersama membangun sekolah yang lebih maju. Inisiatifnya sudah barang tentu harus dari kepala sekolah. Kalau tidak juga muncul, dapat dari dinas pendidikan tingkat kecamatan atau bahkan tingkat kabupaten. Sudah barang tentu harus dipahami bahwa sosialisasi bukanlah instruksi, bukan pula pemaksaaan terselubung. Benar-benar untuk meningkatkan pemahaman secara kritis tentang manfaat kebijakan merger sekolah sebagai strategi untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Langkah kedua, jika langkah pertama terdapat respon yang masih negatif, maka strategi lain dapat dilakukan, misalnya mengadakan pendekatan dengan para tokoh masyarakat (tomat) atau tokoh agama (toga), atau tokoh pendidikan (todik) yang ada di daerah tersebut. Jika langkah pertama dapat berjalan lancar sesuai dengan tujuan yang diharapkan, maka langkah berikutnya adalah membentuk tim atau kepanitiaan, dengan melibatkan komponen yang terkait. Pembentukan tim atau kepanitiaan inipun harus dilakukan secara demokratis agar semua stakeholders dapat terakomodasi aspirasinya, dan yang lebih penting adalah agar dapat memberikan peran sertanya secara maksimal dalam penyelenggaraan pendidikan.

Langkah ketiga, mengajukan atau memasukkan program merger sekolah ke dalam program dan kegiatan dinas pendidikan, untuk disetujui oleh pemerintah dan legislatif. Langkah ini penting, karena program merger akan memerlukan konsekuensi anggaran yang mungkin tidak sedikit.

Langkah keempat, jika program itu telah disepakati, maka langkah berikutnya adalah pelaksanaan program. Fase pelakasanaan program dan monitoring pelaksanaan program juga harus selalu melibatkan semua stakeholder yang sejak awal dilibatkan dalam program ini. Program ini harus dilaksanakan menurut prinsip manajemen modern, yakni demokratis, transparan, dan akuntabel. Jika tidak, maka justru akan terjadilah distrust dari masyarakat, yang untuk membangunnya tidaklah mudah.

Langkah kelima adalah pelaporan dan pertanggungjawaban jika program itu telah dapat diselesaikan. Di samping itu, kegiatan pasca pelaksanaan program perlu dilakukan, misalnya monitoring dampak pelaksanaan program tersebut terhadap peningkatan mutu pendidikan, sebagaimana telah disebutkan dalam tulisan ini, yakni lima dimensi mutu pendidikan: yakni ‘learners, environments, content, processes, dan outcomes’ atau peserta didik, lingkungan, kurikulum atau bahan ajar, proses pendidikan atau proses pembelajaran, dan hasil pendidikan atau hasil belajar peserta didik.

Akhir Kata

Tulisan singkat ini diharapkan dapat menambah keyakinan semua pihak tentang pentingnya kebijakan merger sekolah merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan. Kebijakan ini telah dirumuskan dan diluncurkan oleh Direktorat Pembinaan TK dan SD, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas. Orang bijak mengajarkan kepada kita bahwa “layar telah terkembang, pantang surut ke belakang, sebelum kita sampai di pelabuhan impian”. Wallahu alam bishawab.

*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com. Pensiunan mantan Kepala Bidang Pelayanan Teknis PPPG Matematika Yogyakarta.

Depok, 9 Agustus 2006.

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts