ArtikelBudayaPendidikan

Tertarik Dengan Masalah Yang Bejibun

Tidak ada komentar

Salut! Itulah satu kata yang terucap ketika membaca Sekilas Setahun Kinerja Kemendikbud: November 2014 – November 2015. Bahasa formal ditinggalkan. Bahasa ASAP (as short as possible) dan bahasa POP digunakan. Meski tak perlu membuang bahasa seni. Karena motivasi dan inspirasi menjadi kunci untuk membangkitkan selera. Hidangan pembuka yang tersaji dalam buku ini sungguh membangkitkan selera. Alhamdulillah.

Masalah bejibun

Buku Sekilas Setahun Kinerja Kemendikbud: November 2014 – November 2015 ini meminjam kosa kata bahasa Betawi bejibun. Aspek mutu pendidikan dan akses membuat masalah pendidikan dan kebudayaan menjadi bejibun. Demikian tulisa Mendikbud. Perjalanan panjang program wajib belajar dari enam tahun menjadi sembilan tahun seperti sudah selesai. Tapi program itu masih juga menyisakan 42% anak usia sampai 18 tahun yang bersekolah SMA/MA/SMK selain masalah mutu, karena program SBI dan RSBI dimansuhkan oleh MK. Di balik kelesuan sekolah untuk menghidupkan kembali program mutu pendidikan tersebut, Mendibud ternyata memiliki keberanian menghapuskan UN sebagai penentu kelulusan. Selama 11 tahun masyarakat sipil memang telah mengusulkan ke MA dan MK agar UN, dan akhirnya mentok. Tapi Mendikbud harus diacungi jempol karena telah menghapuskan UN, sekaligus berhasil mengujicobakan UNBK (Ujian Nasional Berbasis Komputer). Lebih dari itu hasil belajar yang dicapai bukan hanya prestasi tetapi jujur. Dengan demikian, pendidikan tidak hanya menghasilkan anak pintar, tapi juga jujur. Mendikbud lebih suka menggunakan istilah-istilah yang lebih memasyarakat dan inspiratif seperti yang telah gunakan ketika berhasil membikin gerakan turun tangan. Jangan hanya urun angan. Apalagi hanya berpangku tangan, apa lagi lepas tangan. Marilah kita semua turun tangan. Itulah sebabnya orientasi pertama yang memperoleh perhatian Mendikbud adalah Penguatan Pelaku Pendidkan dan Kebudayaan, mulai dari siswa atau peserta didik, guru, kepala sekolah, dan para pelaku di balik layar.

Terminologi baru Pendidikan

Kebaruan Kemendikbud pada tahun ini antara lain ditandai oleh banyaknya istilah-istilah baru dalam buku ini. Berbagai aspek dan komponen pendidikan juga berusaha didekati dan dituntaskan dalam waktu setahun kinerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Pertama, Gerakan Hari Pertama Sekolah (HPS).  Gerakan ini mengingatkan saya dengan The First Day Festival di Amerika Serikat, yang dapat melibatkan semua pihak untuk peduli kepada pendidikan anak-anak bangsa. Keterlibatan itu mulai dari seorang Walikota yang menyampaikan pidato selamat memasuki tahun ajaran baru sampai dengan ucapan orang tua, sampai dengan keterlibatan dunia usaha dan dunia industri yang terlibat dalam meramaikan acara festival yang diadakan di aliran sungai yang jernih lengkap dengan acara naik perahu yang ditepuktangani oleh para hadirin.

Kedua, Gerakan PAUD berkualitas. PAUD dikenal sebagai the golden ages. Masa keemasan bagi anak-anak bangsa. Kehebatan masa keemasan ini karena kecerdasan anak akan tumbuh secara optimal pada masa ini. Hampir 30 juta anak memerlukan tiga aspek penting dalam gerakan PAUD ini, yakni; (1) layanan pendidikan, kesehatan, dan gizi, (2) pengasuhan, dan (3) perlindungan. Negeri ini mempunyai pengalaman pahit dalam ketiga aspek tersebut, khususnya dalam pengasuhan dan perlindungan anak. Pengasuhan anak di negeri ini telah terjadi kondisi yang cukup memilukan, karena kasus penelantaran anak, bahkan berujung pada kematian sang anak wanita. Pembunuhan seorang hanyalah membunuh seorang saja. Tetapi membunuh seorang anak wanita sama dengan membunuh umat manusia.

Ketiga, Gerakan Indonesia Membaca dan Menulis. Kewajiban membaca buku non-pelajaran 15 menit sebelum jam sekolah dimulai. Secara langsung maupun tak langsung, inilah jawaban terhadap pernyataan tragedi nol buku dari Taufik Ismail dan Satria Dharma yang gencar menuntut Gerakan Literasi Sekolah (GLS).

Keempat, Pencanangan Zona Integritas, dimulai dengan mengukur indeks integritas ujian nasional (IIUN). Selain untuk mengukur kejujuran siswa, juga untuk mengukur kejujuran sekolah. IIUN tersebut mengukur: (1) integritas dan (2) capaian UN. Dengan demikian diketahui empat kuadran sebagai berikut: (1) integritas rendah – nilai UN rendah, (2) integritas rendah – nilai UN tinggi, (3) integritas tinggi – nilai UN rendah, (4) integritas tinggi – nilai UN tiggi. Dalam hal ini, Kemendikbud mengakui bahwa secara nasional unsur integritas dalam pelaksanaan UN masih rendah. Baru ada tujuh provinsi yang meraih inteks integritas yang tinggi untuk tingkat pendidikan SMA dan sederajat, yakni: (1) DI Yogyakarta, diikuti oleh (2) Bangka Belitung, (3) Kalimantan Utara, (4) Bengkulu, (5) Kepulauan Riau, (6) Gorontalo, dan (7) Nusa Tenggara Timur.

Kelima, Guru Garis Depan (GGD). Guru memang menjadi aktor utama pendidikan. Digumarti Bhaskara Rao, seorang ahli pendidikan dari India menyatakan bahwa “good education requires good teachers.” Untuk mengukur empat standar kompetensi guru LPMP melaksanakan Uji Kompetensi Guru (UKG). Hampir 3 juta guru di seluruh Indonesia telah mengukuti UKG yang dilaksanakan di 4035 tempat uji kompetensi (TUK). UKG ini disebut sebagai alat bercermin bagi guru secara individual. Hasilnya nanti akan digunakan untuk pembinaan profesionalisme guru. Peta kompetensi ini dapat dilihat di LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidik) yang ada di setiap provinsi di Indonesia. Sayang laporan hasil UKG ini belum dapat kita ikuti dalam buku ini. Saya justru memperoleh data hasil UKG dari koran Kompas[1] sebagai berikut: (1) kompetensi pedagogi dengan rerata nilai 48,94, (2) kompetensi profesional dengan rerata nilai 54,77, dan kompetensi keseluruhan 53,02.

Data hasil kompetensi pedagogi dan profesional dan rerata antara keduanya tersebut yang telah mendorong saya menulis buku berjudul Ilmu Pendidikan (Pegagogi) yang saat ini masih dalam penulisan naskahnya. Mudah-mudahan buku tersebut ada yang bersedia mencetaknya, insya Allah.

Keenam, Penerapan Kurikulum 2013. Kurikulum 2013 tidak perlu disebut sebagai Kurikulum Nasional, karena Kurikulum 2013 sesungguhnya menganut pola school based curriculum. Sama dengan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Benar apa yang dilakukan oleh Kemendikbud yang menyatakan bahwa: (1) K13 memang bagus secara ide, (2) tanpa pernah dievaluasi dan diuji sebelum diterapkan secara terburu-buru secara nasional, serta menyerahkan pelaksanaan K13 sesuai dengan kesiapan sekolah. Oleh karena itu, pelaksanaan K13 melalui empat tahap: (1) evaluasi atas kurikulum yang ada, (2) pendadaran ide K13 dan penyusunan desain serta penulisan dokumen kurikulum, dan terakhir penerapan K13.

Ketujuh, Program Indonesia Pintar (PIP). Program ini memberikan hak setiap anak bangsa memang harus memperoleh dukungan. Meski istilah pintar penulis tidak terlalu pas, karena istilah yang lebih tepat adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa” dan bukan memintarkan kehidupan bangsa.

Kedelapan, Penumbuhan Budi Pekerti.

Istilah Penumbuhan Budi Pekerti sebenarnya lebih dekat dengan istilah kebudayaan (culture) ketimbang istilah pendidikan (education). Tak mengapa, toh pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan[2]. Gagasan melahirkan Penumbuhan Budi Pekerta tersebut lebih karena tuntutan Mendikbud untuk menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila sebagai dasar dan filsafat negara yang sekarang ini telah mati suri.

Memang ada perbedaan makna antara pendidikan karakter yang telah diluncurkan Kemendikbud oleh Mendikbud sebelumnya. Lagi-lagi terjadilah kelambanan implementasi kebijakan. Lahirnya PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan telah terlambat selama lima tahun. Kelambatan PP ini pun menjadi faktor yang telah memperlambat kelahiran Dewan Pendidikan Nasional (DPN), yang sampai saat ini belum juga berhasil dibentuk.

Makna Budi Pekerti memang relatif sama dengan Pendidikan Karakter. Dalam bahasa Agama, yakni Akhlak mulia. Bahkan menulisnya pun juga berbeda Akhlaqul Karimah. Meskipun mata pelajaran Budi Pekerti memah sudah ada sejak Rencana Pelajaran 1947 (kurikulum pertama setelah Indonesia merdeka), namun kelahiran Penumbuhan Budi Pekerti memang sesuai dengan tuntutan budaya saat ini. Bersamaan pula dengan kelahiran Gerakan Literasi Sekolah (GTL). Banyak budaya sekolah (school cultures) yang memang harus ditumbuhkan melalui proses afeksi dengan lima langkah yang digagas oleh Benjamin S. Bloom, seperti budaya antri, budaya gosok gigi, dan banyak budaya positif yang lainnya.

Kesembilan, Pelibatan isu publik dalam isu-isu pendidikan

Kemendikbud sesunguhnya harus melibatkan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan. Untuk ini, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transformasi Pendidikan (KMSTP) telah menggelar Simposium Pendidikan Nasional pada tanggal 24-25 Februari 2015 di Graha Ki Hadjar Dewantara dengan tema Membumi-Landaskan Revolusi Mental dalam Sistem Pendidikan Nasional. Kesimpulan symposium tersebut adalah pemerintah diminta untuk: (1) mengkaji ulang konsep dasar Kurikulum 2013, (2) memperkuat peran dan fungsi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, (3) memperkuat dasar hukum dan pemerataan guru dari SKB 5 Menteri menjadi Peraturan Pemerintah, (4) tetap mendorong perbaikan regulasi pengelolaan guru, (5) mengkaji standar biaya satuan pendidikan untuk jenjang dasar, baik negeri maupun swasta, (6) merevisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa program Wajib Belajar harus ditingkatkan dari 9 tahun menjadi 12 tahun. Kepmendikbud kini telah, sedang, dan akan melaksanakan satu per satu hasil Simposium Pendidikan Nasional tersebut.

Kesepuluh, Kawah Kepemimpinan Pelajar (KKP). Ketika saya sampai kepada ketertarikan saya kepada yang satu ini, saya ingat kata-kata mutiara bahwa Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mempersiapkan pemimpin yang baik di masa depan. Ada tiga dimensi materi yang diberikan dalam kegiatan yang pastinya mengasikkan ini: (1) dimensi integritas, (2) kapabilitas, dan (3) kebangsaan. Saya teringat dengan ungkapan “menjadi generasi penerus”. Seharusnya bukan lagi generasi penerus yang kita bikin. Tapi “generasi pelurus” bahkan “generasi pencerah” seperti judul film “Sang Pencerah”. Mengapa? Karena banyak yang harus diluruskan. Misalnya membangun generasi anti korupsi, jujur, komitmen, anti narkoba, diisiplin, tanggung jawab. Semua itu harus diluruskan karena generasi sekarang dan sebelumnya sudah telanjur menjadi generasi yang audzubillahimindzalik.

Demikianlah kesan dan komentar saya terhadap buku Kilasan Setahun Kinerja Kemendikbud, November 2014 – November 2015. Mudah-mudahan, kesan dan komentar singkat ini bermanfaat bagi pembangunan bangsa. Amin.

*) Laman: www.suparlan.com; Surel: me@suparlan.com;

Kritik dan saran terhadap tulisan ini akan saya simpan dalam guci emas untuk penyempurnaan tulisan ini selanjutnya.

Depok, 5 Februari 2016.

[1] Kompas, 31 Desember 2015.

[2] Daoed Joesoef, Alumnus Université Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne, dalam Kompas Cetak, Jumat, 7 November 2014, halaman

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.