ArtikelDunia IslamPendidikan

Ringkasan Kisah Nabi Ibrahim: Satu Contoh Proses Pembelajaran yang Belum Selesai

5 Komentar

Oleh Suparlan *)

Apa yang dilakukan kepada anak-anak, akan mereka lakukan kepada masyarakat
(Karl Menninger)

Arah yang diberikan pendidikan untuk mengawali hidup seseorang akan menentukan masa depannya
(Plato).

Barang siapa yang tidak mau mencicipi pahitnya belajar barang sesaat, ia akan merasakan pahitnya kebodohan seumur hidupnya
(Pepatah Arab)

Bibitnya cinta, buahnya keajaiban
(Gede Prama)

Pada tanggal 8 Januari 2006, Dewan Pendidikan Kabupaten Bogor punya hajat besar. Seluruh pemangku kepentingan pendidikan se kabupaten diundang dalam acara tersebut, mulai deri kepala sekolah, komite sekolah, organisasi profesi pendidikan, sampai dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI). Acara tersebut dapat dikatakan sukses dari segi pelaksanaannya, karena bupati dan ketua DPRD berkenan hadir untuk terlibat dalam pembahasan masalah yang sangat penting dalam kehidupan ini, yakni pendidikan.

Acara kegiatan tersebut diadakan di aula Masjid Assalam, yang berada di lingkungan pabrik semen Indocement, satu tempat yang cukup memadai, karena kita berada dalam lingkungan telah mengintegrasikan antara urusan Iptek dan Imtaq. Dalam kesempatan menghadiri kegiatan tersebut, secara kebetulan penulis berkesempatan melakukan shalat Dhuhur dan Asar di dalam masjid yang cukup besar itu. Masjid yang cukup sarat dengan kegiatan pendidikan, khususnya pendidikan agama. Ada anak-anak yang sedang belajar, dan para guru yang sibuk memberikan materi pelajaran kepada para siswanya. Terlihatlah sederet tulisan pada whiteboard yang baru saja dipakai dalam proses belajar mengajar untuk siswa madrasah diniah yang diselenggaran di masjid tersebut. Tulisan tersebut begini.

Dinul Islam

Ringkasan Kisah Nabi Ibrahim

1.      Ayah Nabi Ibrahin adalah Azar.

2.      Pekerjaan ayah Nabi Ibrahim adalah membuat patung.

3.      Mu’jizat Nabi Ibrahim adalah tidak mempan dibakar api.

4.      Raja yang memerintah pada saat kehidupan Nabi Ibrahim adalah Namrud.

5.      Istri Nabi Ibrahim adalah Siti Sarah dan Siti Hajar

6.      Putra Nabi Ibrahim yang disembelih adalah Nabi Ismail.

7.      Ibu Nabi Ismail adalah Siti Hajar

Dengan penuh perhatian, penulis membaca tulisan tersebut dari baris pertama sampai dengan titik terakhir. Itulah kira-kira salah satu meteri pelajaran yang diajarkan oleh guru kepada para siswanya. Salah satu materi pelajaran Pendidikan Agama Islam. Setelah guru menerangkan (ceramah) tentang kisah Nabi Ibrahim, kelihatannya guru itu kemudian meminta agar para siswa mencatat ringkasan materi pelajaran tersebut. Ringkasan materi pelajaran itu telah disiapkan oleh sang guru. Setelah ringkasan materi pelajaran itu dicatat, maka para siswa untuk bersiap-siap untuk shalat ashar berjamaah. Tampak tas berjejer-jejer rapi, dan beberapa buku tulis di lantai masjid. Guru dan anak-anak shalat berjamaah di serambi masjid, terpisah dari jamaah orang dewasa.

Pengajaran: Sebagian Dari Proses Pendidikan

Sebelum acara dimulai di luar masjid penulis telah berdiskusi tentang masalah pendidikan agama dengan Wakil Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Beliau menyatakan bahwa Pendidikan Agama Islam sekarang ini cenderung telah menjadi “knowledge”, bukan masalah “moral”. Hal itu disampaikan pula dalam kata sambutannya pada hajat besar Dewan Pendidikan Kabupaten Bogor tersebut. Salah seorang pengurus Dewan Pendidikan Kabupaten Bogor malah meluruskan. Pendidikan Agama memang masalah moral. Tetapi itu semua harus dimulai dari memberikan ilmunya. Benar sekali, tetapi tidak  sekedar sebagai pengetahuan (knowledge).

Apa yang dapat diamati dari “Ringkasan Kisah Nabi Ibrahim” yang diberikan kepada para siswa di Masjid Assalam tersebut ternyata baru menyentuk satu aspek yang disebut pengetahuan (knowledge). Belum menyentuk aspek “moral”. Belum dalam aspek afektif, Proses pembelajaran pun kira-kira juga masih berkutat dengan metode ceramah, atau yang dikenal dengan pola “talk and chalk” atau tutur dan kapur. Dengan demikian yang tejadi lebih sebagai proses pengajaran, bukan proses pendidikan. Proses pengajaran lebih kepada proses transfer pengetahuan (transfer of knowledge) bukan proses pendidikan yang lebih menekankan pada aspek-aspek kepribadian dan moralitas. Para guru perlu melakukan proses mawas diri apakah proses pembelajaran yang dilaksanakan, khususnya untuk mata pelajaran Pendidikan Agama, juga mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, selama ini sudah dilaksanakan dengan menekankan aspek pendidikan ketimbang pengajajarannya. Kita diingatkan bahwa “Apa yang dilakukan kepada anak-anak, akan mereka lakukan kepada masyarakat” (Karl Menninger). Jika yang diberikan dalam proses pembelajaran hanya terbatas pada aspek-aspek yang bersifat knowledge, maka hasilnya tidak akan lebih dan kurang. Para siswa tidak lebih hanya akan mengetahui siapa ayah Ibrahim, siapa istri dan anaknya. Para siswa tidak akan menggapai aspek-aspek moralitas tentang kegigihan Ibrahim dalam mencari hakikat nilai-nilai ilahiyah dengan cara menolak mentah-mentah penyembahan kepada patung yang dibuat oleh ayahnya sendiri. Demikian juga dengan nilai-nilai kesabaran dan keikhlasan yang ditunjukkan oleh Ismail terhadap perintah Allah. Apakah proses penddiikan selama ini telah masuk kepada aspek nilai yang harus ditanam pada benih-benih generasi muda bangsa kita selama ini? Kalau belum, maka proses pendidikan tersebut sebenarnya baru sampai pada proses pembekalan dengan kecerdasan intelektual, belum sampai dengan kecerdasan spiritual, kecerdasan social, emosional, dan kecerdasan lainnya. Kita diingatkan bahwa “Arah yang diberikan pendidikan untuk mengawali hidup seseorang [baca: peserta didik] akan menentukan masa depannya” (Plato). Para pendidik memang harus memiliki kompetensi dalam proses pengajaran (instructional process), tetapi di dalamnya harus diberikan nuansa pendidikan. Ranah yang harus disentuk bukan hanya ranah kognitif, tetapi juga afektif, dan psikomotorik.

Pendidikan Nilai (Value Education)

Semua mata pelajaran memiliki muatan keilmuan dan sekaligus juga muatan nilai-nilai di dalamnya, yang sebenarnya tidak dapat dipisah-pisahkan dalam praktik pembelajaran. Mata pelajaran matematika, sebagai contoh, tidak hanya berkutat dengan muatan keilmuan berupa rumus-rumus yang entah darimana diperoleh rumus-rumus tersebut. Para siswa biasanya sudah pusing tujuh keliling lebih dahulu untuk menghafalkan rumus-rumus itu. Padahal, sebenarnya rumus itu justru tidak harus dihafalkan, tetapi harus dicari dan ditelusuri dari mana rumus itu diperoleh. Rumus segitiga disebutkan sebagai setengah alas kali tinggi. Mengapa setengah alas? Mengapa tidak sepertiga alas, atau seperempat alas? Para siswa sebenarnya tidak harus dapat menghafalkan rumus itu secara membabi buta, melainkan justru harus dapat menelusuri bagaimana terjadinya rumus itu. Dengan selembar kertas berbentuk persegi panjang, secara berkelompok anak-anak diminta untuk menjelaskan mengapa rumus segitiga adalah setengan alas kali tinggi atau alas kali setengah tinggi. Dengan cara memotong kertas persegi panjang secara diagonal, maka peserta didik akan dapat menyatukan kembali kedua potong kertas tersebut menjadi bentuk segitiga. Nah, dari bentuk segitiga yang baru dibentuk itu peserta didik diminta untuk mencoba menemukan sendiri mengapa rumus segitiga setengah alas kali tinggi Ketika kertas ukuran A4 tadi masih berbentuk persegi panjang, rumus luasnya adalah panjang kali lebar. Lalu, ketika persegi panjang tersebut telah dibentuk menjadi segitiga, bagaimana rumus luasnya? Yang terjadi adalah lebar persegi panjang sama dengan tinggi segitiga bentukan baru itu. Lalu, mana panjangnya? Ternyata panjangnya adalah setengah alas dari segitiga bentukan baru itu. Dengan demikian, luas segitiga bentukan baru itu adalah setengah alas (panjang) kali tinggi (lebar). Dengan kata lain, panjang kali lebar dalam dalam bentuk persegi panjang sama dengan setengah alas kali tinggi dalam bentuk baru  segitiga.

Hanyakah sampai di situ proses pembelajaran matematika itu? Belum. Belajar matematika yang diharapkan bagi anak bukan hanya sekedar mengetahui tentang berbagai kaidah tentang rumus-rumus itu, tetapi juga mahir dan terampil dalam hal menyelesaikan perhitungan matematika atau melakukan operasi matematika. Dan yang paling penting adalah menyampaikan nilai-nilai yang kelak harus menjadi bagian dari sikap hidup peserta didik. Dengan belajar matematika kita berharap peserta didik menjadi lebih teliti dalam melakukan operasi matematika itu, atau menjadi tekun dan  tidak putus asa dalam menghadapi masalah, Selain nilai ketelitian dan ketekunan, ada nilai yang amat penting dalam kehidupan ini, yakni nilai kejujuran, yang konon telah banyak dilupakan orang. Dalam melakukan operasi matematika, peserta harus jujur, tidak boleh melakukan operasi matematika dengan melakukan kecurangan-kecurangan. Ketiga nilai itu, yakni ketelitian, ketekunan, dan kejujuran, merupakan nilai-nilai dalam kehidupan ini yang secara langsung ataupun secara tidak langsung harus diperoleh peserta didik melalui proses pembelajaran matematika di sekolah.

Belum Selesai

Jika melalui mata pelajaran matematika dapat diperoleh pendidikan nilai ketelitian, ketekunan, dan kejujuran, apatah lagi dengan mata pelajaran pendidikan agama. Nilai-nilai apa yang dapat diperoleh dari mata pelajaran pendidikan agama? Dengan metode apa nilai-nilai tersebut dapat dilakukan? Sebagai contoh, apa yang kurang dari ringkasan kisah Nabi Ibrahim yang telah dijelaskan dalam awal tulisan ini?

Ringkasan kisah Nabi Ibrahim yang telah diberikan oleh guru di Masjid Assalam tersebut sama sekali tidak salah. Hanya belum selesai. Kalau hanya sampai di situ, maka peserta didik hanya akan memperoleh knowledge semata-mata. Anak-anak cenderung hanya akan menghafalkan ringkasan yang telah diberikan gurunya. Seharusnya siswa memperoleh keterampilan menyampaikannya dalam bentuk lisan ataupun tulisan (psikomotorik). Meski dengan satu baris kalimat sederhana, cobalah siswa diberikan kesempatan untuk menulis tentang ketakjuban mereka tentang Nabi Adam, tentang Nabi Ismail, tentang kesabaran Siti Hajar. Demikian seterusnya. Berikan kesempatan peserta didik berpidato layaknya seorang da’i yang sedang berceramah, atau melalukan konsultasi pribadi terhadap teman-temannya. Berikan kesempatan peserta didik mencoba menuliskan kesan-kesan mereka terhadap keberanian Nabi Ibrahim dalam bersikap bahwa sesungguhnya tuhannya adalah Allah, bukan matahari, bukan bulan, dan juga bukan puluhan atau bahkan ratusan patung yang dibuat oleh ayahnya. There is no impression without expression. Peserta didik tidak akan memperoleh kesan yang mendalam dari proses pembelajaran tersebut tanpa diberikan kesempatan untuk mengekspresikan tentang apa saja yang telah diperoleh dalam proses pembelajaran. Dengan cara seperti itu, peserta didik tidak hanya memperoleh knowledge, tetapi sekaligus pendidikan nilai (value education). Dengan demikian, guru-guru telah memberikan ketiga ranah pendidikan sekaligus, kognitif, afektif, dan psikomotoriknya.

Akhir Kata

Kita ketahui bersama bahwa para guru kita masih banyak berkutat dengan ranah kognitif, dengan metode ceramah, serta dengan pola  chalk and talk atau kapur dan tutur. Ketika sang guru mengatakan bahwa pada hari ini tidak ada pelajaran, karena ada rapat dewan pendidik, maka bersoraklah peserta didik “horeeeeeeeee” dengan suara yang panjang, karena mereka bebas dari penjara kelas yang membosankan. Para guru harus segera mau dan mampu melakukan hijrah besar, dari model pembelajaran yang teachers-centered menjadi model pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM). Wallau alam bishawab.

*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com.

Depok, 10 Januari 2007

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

5 Komentar. Leave new

  • Bagian tulisan mana yang disuka dan tidak di suka? Untuk ini, saya jadi ingat kata-kata mutiara mantan istri UJ dalam percakapannya dengan Dedy Comudzer. Jika Anda memperoleh cekian banyak pujian terhadap karya anda, maka masukanlah ke tong sampah, karena hal itu hanya tidak bermanfaat bagi Anda. Sebaliknya jika Anda memperoleh kritik dan masukan terhadap karya Anda, maka masukkan semuanya ke guci emas, karena siapa tahu semua itu akan bermanfaat untuk lebih menyempurnakan karya ada,

    Balas
  • iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii llllllllllllooooooooooooovvvvvvvveeeeeeee yyyyyyyyoooooooouuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu///////////////////////////////////////////////////////////////\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\

    Balas
  • saya suka

    Balas
  • Mana ringkasan ceritanya sih???

    Balas
    • Maaf, lambat membalasnya. Super! Kata Mario Teguh. Pertanyaan yang kritis. Terima kasih. Ringkasan ceritanya memang hanya dituliskan dalam tujuh butir kalimat tersebut. Tujuh butir kalimat itulah yang membuat saya dapat mengambil kesimpulkan bahwa ranah bahan ajar yang disampaikan oleh guru agama itu hanyalah dalam ranah kognitif saja, belum menyinggung ranah afektif, apa lagi psikomotoriknya. Seharusnya bahan ajar yang disampaikan kepada siswa dalam mata pelajaran agama lebih banyak mengandung ranah afektif, karena itulah inti bahan ajar yang seharusnya terkandung dalam mata pelajaran pendidikan agama. Misalnya, dalam kisah Nabi Ibrahim itu dijelaskan tentang bahan ajar sebagai berikut: 1) Nabi Ibrahim sangat kuat keyakinannya tentang keesaan Allah, mengalahkan pekerjaan ayahnya sebagai pembuat patung, 2) menjalankah perintah Allah SWT adalah yang paling diutamakan oleh Nabi Ibrahim, meskipun perintah itu adalah menyembelih anaknya sendiri, yakni Nabi Ismail; kepatuhan dalam menjalankan perintah Allah inilah yang kemudian diperingati sebagai Hari Raya Idul Adha, demikian seterusnya. Bahan ajar yang menjadi kesimpulan kisah Nabi Ibrahim bukan hanya ranah pengetahuan (cognitive) saja, tetapi yang terpenting adalah justru ranah sikap (affective). Itulah yang penulis maksudkan bahwa proses pembelajaran tentang kisah Nabi Ibrahim tersebut sebenarnya belum selesai, karena guru hanya menyampaikan kisah Nabi Ibrahim yang berisi ranah pengetahuannya. Dengan kata lain, ringkasan kisah Nabi Ibrahim tersebut harus memuat bahan ajar dalam ranah afektif. Jadi ringkasan kisah Nabi Ibrahim memang tidak ada dalam tulisan ini. Ringkasan kisah Nabi Ibrahim yang mengandung ranah afektif masih harus dibuat oleh guru yang akan mengajar mata pelajaran pendidikan agama tersebut. Sekali lagi, terima kasih komentarnya. Salam hormat. Mudah-mudahan bermanfaat.

      Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.