Trilogi Van Deventer

0
36148
trilogi-van-deventer
trilogi-van-deventer

Oleh Suparlan *)

Pendidikan tidak terlepas dari politik, bahkan dapat dikatakan bahwa segala kebijakan (nasional dan lokal) tentang pendidikan pada dasarnya merupakan keputusan politik
(Beeby, 1981; Levin, 1997 dalam Dedi Supriadi, 2003: 4)

Politik pendidikan merupakan kajian khusus dalam ilmu pendidikan yang membahas hubungan antara politik dan pendidikan
(Dedi Supriadi)

Sejarah pendidikan di Indonesia telah meninggalkan jejaknya, yang perlu menjadi bahan pelajaran bagi segenap anak-anak bangsa, yang menaruh hormat kepada pendiri republic ini agar segenap anak bangsa itu jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Jejak sejarah pendidikan Indonesia yang hendak kita pelajari dalam tulisan ini adalah tentang apa yang kemudian disebut dengan Trilogi van Deventer.

Berdasarkan catatan jejak sejarah tersebut menunjukkan bahwa di antara banyak orang Belanda yang telah dengan kekuasaannya telah melakukan penindasan terhadap rakyat jajahannya, tetapi masih ada juga seorang yang dengan hati nuraninya masih merasakan keprihatinannya dan kegalauannya tentang apa yang dialami oleh rakyat jajahan. Orang itu antara lain adalah C.Th. van Deventer. Sebagai seorang intelektual yang berfikir obyektif, van Deventer telah sungguh-sungguh menyatakan kerisauannya terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang selama ini dinilai telah diabaikan sedemikian rupa oleh bangsanya sendiri, terutama akibat dari proses penjajahan oleh Belanda terhadap rakyat Indonesia. Sementara Belanda sendiri menyatakan dirinya sebagai bangsa yang memiliki peradaban yang tinggi dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan itu (Dedi Supriadi, 2003: 10). Kerisauan van Deventer tersebut ditulis dalam artikel bertajuk “Een Eereschuld” atau “Utang Kehormatan” dalam majalah De Gids Nomor 63 Tahun 1899 di Negeri Belanda.

Dalam tulisan tersebut van Deventer menjelaskan bahwa pelaksanaan sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) pada tahun 1930 dan sistem Liberal pada tahun 1870 yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial Belanda di tanah jajahannya, Hindia Belanda —- begitulah sebutan Indonesia pada zaman penjajahan —- dinilai sebagai politik pengerukan sumber kekayaan alam Indonesia yang sangat luar biasa. Kekayaan alam berupa rempah-rempah; hasil tambang emas, perak, batubara, dan minyak bumi; hasil pertanian dan perkebunan dari tanah jajahan Hindia Belanda telah dikeruk, diekploitasi habis-habisan dan dibawa ke Negeri Belanda untuk dipersembahkan kepada Sang Ratu dan para pengikutnya. Menurut van Deventer, semua keuntungan yang telah diperoleh Belanda melalui penjajahan itu harus dianggap sebagai hutang pemerintah Balanda kepada rakyat Hindia Belanda, yang kalau dihitung besarnya tidak kurang dari 187 juta gulden. Dengan demikian, menurut van Deventer, itulah hutang yang harus dikembalikan kepada rakyat jajahan, dengan cara menyediakannya dalam bentuk anggaran belanja untuk rakyat jajahan itu.

Politik Etis atau Politik Balas Budi

Tulisan van Deventer itulah yang kemudian membuka mata pemerintah Belanda untuk mengubah sistem Tanam Paksa dan sistem Liberal dengan kebijakan baru yang kemudian dikenal sebagai Politik Etis atau Politik Balas Budi. Politik Etis ini kemudian dikenal sebagai Trilogi van Deventer, yakni meliputi tiga kebijakan, yani:

Pertama, migrasi. Yang dimaksud migrasi adalah proses pemindahan penduduk dari Jawa ke luar Jawa, untuk dijadikan buruh yang akan dipekerjakan di daerah perkebunan atau daerah pertambangan milik Belanda. Kuli kontrak dari Pulau Jawa dipindahkan ke perkebunan karet di Pematang Siantar, Sumatera Utara, di daerah pertambangan batubara di Sawahlunto, Sumatera Barat, dan bahkan juga di negeri jajahan Belanda di luar negeri.  Maksud awal kebijakan ini memang dipandang sebagai kebijakan yang bersifat simbiose mutualistis, karena dapat menguntungkan pihak Belanda di satu sisi, tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di sisi lainnya. Namun, kenyataanya tidak demikian. Jauh panggang dari api. Kebijakan itu semata-mata juga menguntungkan Belanda. Makin banyak hasil bumi dan hasil tambang yang dikeruk oleh Belanda dari bumi pertiwi Indonesia. Sementara rakyat tetap dalam keadaan miskin dan tertindas.

Kedua, irigasi. Negara Belanda dikenal mempunyai keahlian dalam bidang teknologi perairan. Laut di Belanda dapat dibendung dan dijadikan daerah perkotaan. Oleh karena itu, dalam hal teknologi pengairan, Belanda memang jagonya. Melalui kebijakan irigasi, Belanda membangun jaringan irigasi yang diperlukan untuk pengairan teknis sawah dan perkebunan yang dicetak Belanda. Lagi-lagi kebijakan ini sesungguhnya bukanlah sebagai politik balas budi Belanda, melainkan semata-mata untuk mengeruk lebih banyak lagi kekayaan dari tanah jajahan.

Ketiga, edukasi. Kebijakan edukasi adalah pemberian kesempatan untuk bersekolah bagi rakyat jajahan. Untuk itu, maka perluasan besar-besaran jumlah sekolah dilakukan oleh Belanda. Pembukaan sekolah itu kemudian juga membuka peluang untuk mendirikan sekolah-sekolah guru untuk penyediaan gurunya. Diperoleh catatan dari Kementerian Jajahan pada tanggal 16 Desember 1901 bahwa jumlah siswa sekolah guru di Bandung ditambah dari 50 menjadi 100 orang, di Yogyakarta dari 75 menjadi 100 orang, di Probolinggo dari 75 menjadi 100 orang, di Semarang dibuka sekolah guru baru dengan siswa sebanyak 100 orang (Dedi Supriadi, 2003: 11). Namun, apa dengan demikian rakyat jajahan dapat memperoleh pendidikan secara merata? Tidak! Karena yang memperoleh kesempatan untuk memperoleh pendidikan tersebut kebanyakan adalah golongan priyayi, dengan maksud untuk diangkat menjadi pegawai Belanda.

Walhasil, politik balas budi sebagaimana dirancang oleh van Deventer kenyataanya hanya untuk kepentingan Belanda semata-mata. Setidaknya itulah pandangan dari rakyat jajahan.  Trilogi van Deventer yang telah menjadi catatan dalam sejarah pendidikan Indonesia.

Respon Terhadap Trilogi van Deventer

Kebijakan yang diluncurkan oleh pemerintah biasanya akan mendapatkan respon positif dan negatif. Demikian juga dengan kebijakan Trilogi van Deventer. Ada kalangan konservatif dari mesin birokrasi pemerintah Belanda, misalnya dari bupati dan jajarannya, yang sejak awal sangat tidak setuju dengan kebijakan ini, karena khawatir akan kehilangan kekuasaannya. Mereka lebih memilih kebijakan yang elitis dalam bidang pendidikan, misalnya dengan hanya memberikan kesempatan kepada kaum priyayi untuk masuk ke sekolah-sekolah yang dibangun Belanda. Snouck Hurgronje dan J.H. Abendanon (Direktur Pendidikan, Agama, dan Kerajinan pada tahun 1900 – 1905) memilih pendekatan yang elitis ini.

Sebaliknya, lahirlah kaum liberal yang lebih menyokong kebijakan yang populis demham memberikan kesempatan kepada orang-orang pribumi untuk memperoleh pendidikan, dengan tujuan antara lain adalah: (1) untuk menekan biaya pemerintahan, karena para pegawai yang dihasilkan dari kalangan pribumi akan digaji lebih murah; (2) mengurangi sikap fanatisme dari kelompok Muslim tradisional, dan sekaligus (3) memberikan contoh kepada masyarakat kelas menengah ke bawah tentang bagaimana “hidup modern” ala Barat. Oleh karena itu, Menteri Tanah Jajahan, Idenburg, dan Gubernur Jenderal van Heurtz (1904 – 1909) lebih memilih kebijakan yang populis ini, yakni memberikan kesempatan kepada masyarakat kelas bawah untuk dapat memasuki sekolah yang didirikan Belanda dan menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di sekolah itu. (Ricklefs, 2001; Watson, 1975 dalam Dedi Supriadi, 2003: 12).     

Kebijakan pendidikan dalam Politik Etis, walau bagaimanapun telah meningkatkan jumlah siswa Sekolah Desa atau Sekolah Rakyat secara signifikan. Jumlah siswa Sekolah Desa 110.000 siswa pada tahun 1900 telah meningkat menjadi 780.000 pada tahun 1920, dan kemudian bertambah lagi hampir tiga kali lipat menjadi 2.200.000 siswa pada tahun 1940 (Dedi Supriadi, 2003: 13).

Perubahan kebijakan pendidikan pada zaman penjajahan kolonial Belanda secara ringkas telah diikhtisarkan oleh Dedi Supriadi sebagaimana dijelaskan dalam tabel berikut:

Tabel 1: Iktisar Perubahan Kebijakan Pendidikan Pada Zaman Belanda, Dari Abad Ke-17 s.d. Abad Ke-20

Periode

Penyelenggara

Pendidikan

Arah dan Sifat Kebijakan Pendidikan

VOC, Abad ke-17-18 Gereja melalui NZG, VOC membiayai
  • Sekolah didirikan di daerah VOC, Inlands Onderwijs untuk mendukung kepentingan VOC;·     Pendidikan satu paket dengan misi agama Kristen;
  • Materi pelajaran adalah membaca, menulis, bahasa Melayu dan Portugis, Bible;
  • Pendidikan tradisional tidak disentuh VOC;
  • Guru dari kalangan gereja dan orang-orang Ambon yang disebar di daerah VOC.
Hindia Belanda Abad ke-19 Pemerintah dan swasta, peran NZG berakhir tahun 1870
  • Pendidikan diselenggarakan oleh pemerintah dan swasta Belanda;·     NZG menyerahkan sekolahnya kepada Pemerintah Hindia Belanda;
  • Pengaruh Kristen dalam pendidikan berkurang;
  • Prioritas masih untuk orang Eropa dan Indo-Eropa mengikuti sistem dan kurikulum di Belanda;
  • Pendidikan elitis bagi Bumiputera dan Melayu untuk mendukung pemerintah colonial;
  • Sekolah guru, kejuruan, dan pamong praja mulai didirikan.
Politik Etis, Abad ke-20 Pemerintah Hindia Belanda
  • Pendidikan berubah dari elitis ke populis;·     Banyak sekolah didirikan;
  • Jumlah siswa meningkat tajam;
  • Akses ke sekolah lanjutan diperluas;
  • Anggaran untuk pendidikan Bumiputera disediakan secara khusus.

Sumber: Dedi Supriadi, 2003: 14

Refleksi

Kebijakan pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda dan kemudian diambil alih oleh pemerintah Indonesia yang merdeka sudah barang tentu memiliki nilai yang berbeda, ibarat malam dan siang. Namun, nurani menyatakan bahwa nilai-nilai kemanusiaan tetap memerlukan kebutuhan akan pendidikan untuk mencerdaskan bangsa. Kalangan pemerintah Belanda mengubah kebijakan pendidikan dari elitis menjadi lebih populis, adalah karena dua sebab. Pertama, untuk kepentingan penjajah. Kedua, semakin kuatnya tekanan dari kalangan intelektual Belanda seperti van Deventer. Sementara itu, para penulis yang mewakili “pandangan Indonesia” juga mengakui bahwa tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia kebanyakan adalah “hasil didikan” Belanda sendiri dan “hasil kebijakan” yang telah diambil Pemerintah Belanda sendiri, termasuk hasil dari sekolah-sekolah Belanda, sekolah-sekolah yang berbasis kebangsaan, seperti Taman Siswa dan sekolah-sekolah yang berbasis keagamaan, seperti Muhammadiyah, NU, dan lain-lain (Dedi Supriadi, 2003: 14). Sekali lagi, sebagai seorang intelektual, Van Deventer telah berhasil membuat pemerintah Belanda untuk memperhatikan nasib rakyat jajahannya, dengan program migrasi, irigasi, dan edukasinya. Bagaimanapun juga penjajah adalah tetap sebagai penjajah. Itulah sebabnya kemerdekaan adalah menjadi satu-satunya pintu gerbang untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Kemerdekaan adalah hak semua bangsa, dan oleh karena itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Demikianlah pernyataan yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945.

Bahan Bacaan:

  • Dedi Supriadi (Ed.). 2003. Guru Di Indonesia, Pendidikan, Pelatihan dan Perjuangannya Sejak Zaman Kolonial Hingga Era Reformasi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
  • Wardiman Djojonegoro. 1996. Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com.

Depok, Mei 2007

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.